Sang Gadis Pendongeng
Judul Buku : The Story Girl
Penulis : Lucy
Maud Montgomery
Alih Bahasa : Ambhita
Dhyaningrum
Penerbit :
Bentang Pustaka
Cetakan Pertama: April 2010 (terjemahan)
Tebal : 368 halaman, paperback.
The Story Girl adalah
buku pertama dari sekuelnya, The Golden Road, karya penulis klasik asal Kanada,
Lucy Maud Montgomery. Lucy Maud
Montogomery lahir di Cliffon, Pulau Prince Edward pada 1874. Sejak kecil, Lucy
tinggal bersama kakeknya yang mendidiknya dengan keras di Cavendish. Pada
1890-an, Lucy mengajar di Bideford dan Lower Bedeque di pulau yang sama. Ia
sudah menyukai menulis sejak kecil. Karya pertamanya, sebuah puisi, dimuat di
surat kabar lokal. Ia semakin dikenal melalui seri novel Anne of Green Gables,
lalu The Story Girl dan sekuelnya, The Golden Road.
Novel ini diceritakan
dari sudut pandang tokoh yang bernama Beverly King. Di awal cerita, Beverly King dan
adiknya, Felix King, pada musim semi itu pindah ke
tanah pertanian
keluarga King di Pulau Prince Edward. Sekian lama menunggu, akhirnya mereka berkesempatan pergi, bahkan tinggal, dan bersekolah di sana. Pertanian keluarga King adalah
tempat Ayah mereka dibesarkan, sehingga banyak menyimpan kisah yang kemudian
diceritakan kepada mereka. Seperti banyak kisah yang diceritakan dari orang tua, cerita cerita itu
seolah mengandung keajaiban sehingga mereka sangat penasaran dengan tempat
tersebut.
Segera setelah
tiba, mereka berkenalan dengan anak-anak keluarga King lainnya,
ada Felicity yang luar biasa cantik meski agak angkuh, Cecily yang baik hati dan berhati
mulia, serta Dan yang ramah namun sarkastik. Selain ketiga anak tersebut, masih ada Peter, pelayan di keluarga tersebut yang cerdas dan sering bermain bersama mereka, Sara Ray,
sahabat Cecily, yang gampang
menangis, dan ada Sara Stanley, orang-orang sering memanggilnya
Gadis Pendongeng.
Tidak terbilang betapa luar biasanya hari-hari yang mereka lalui bersama,
terutama karena keberadaan Gadis Pendongeng yang menceritakan
banyak kisah. Suaranya,
gerakannya, mimik wajah serta cara bicaranya selalu mampu menyesuaikan dengan
cerita yang ia bawakan, sehingga para pendengarnya seakan benar-benar larut dan
menyaksikan kejadian dalam cerita tersebut. Baik itu misteri, humor yang kocak,
kisah yang penuh kesedihan, petualangan, legenda, atau sejarah keluarga, Gadis
Pendongeng selalu dapat menceritakan kisah-kisah tersebut dengan sangat baik
sampai pendengarnya terkesan, dan tidak hanya anak-anak, orang dewasa juga tenggelam
dalam cerita-cerita yang dikisahkannya.
Buku ini juga menceritakan kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan di Tanah Pertanian
Keluarga King, tentang Peter yang menyukai Felicity, virus campak yang menular,
misteri peti biru, sekolah minggu, lomba khotbah, Peg Bowen yang eksesntrik dan
menurut desas-desus katanya seorang penyihir, ketakutan karena berita kiamat di
koran lokal, dan masih banyak lagi.
Terdiri dari 32 bab, ini adalah buku yang mengingatkan saya tentang
kenangan masa kanak-kanak. Dengan terjemahan yang memuaskan, kisah Gadis
Pendongeng yang mengagumkan, saya seperti menjadi anak kecil lagi yang turut
serta dalam kelompok Beverly di Keluarga King. Membayangkan bertatap
muka langsung dengan Gadis Pendongeng,
saya suka bagaimana dia selalu optimis, berani, perhatian dan kadang juga
bersikap nakal seperti anak-anak lainnya. Novel ini juga memiliki kesan religius kristiani khas pedesaan.
Kelebihan novel ini,
menurut saya, adalah bahasanya. Penerjemah sepertinya mampu melakukan alih bahasa
tanpa menghilangkan kesan magis dan klasik seperti dalam novel aslinya. Selain
itu kisah yang berlatarkan suasana pedesaan yang dipenuhi deskripsi membuat
benak pembaca membayangkan. Dalam
novel ini juga banyak terdapat banyak kata-kata indah, meskipun kadang sukar
dipahami bagi beberapa pembaca. Salah
satu kutipan yang saya sukai di buku ini :
“Dewa-dewa pun tak bisa meminta kembali hadiah mereka.
Mereka mungkin merampok masa depan kami dan melukai masa kini kami, tapi mereka
tak bisa menyentuh masa lalu kami. Dengan semua tawa dan kebahagiaan dan
keindahannya, masa lalu akan menjadi milik kami yang abadi.”
Kelemahan novel ini,
mungkin seperti halnya novel-novel terjemahan pada umumnya, adalah keberadaan
beberapa kata-kata yang terkesan agak tidak sesuai dengan konteks asli kalimat,
dan kalimat-kalimat yang sangat formal.
Secara
keseluruhan, saya menyukai novel yang telah saya miliki selama selama hampir 5
tahun ini. Sebabnya beragam, mulai karena bahasa dan deskripsi yang menarik,
bahkan bagi saya yang masih kanak-kanak saat itu, hingga alur cerita nan
menawan yang sukar ditebak.
| Novel The Story Girl |
Komentar
Posting Komentar